Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Muamar Khadapi Soroti Makan Bergizi Gratis Saat Sekolah Libur: Kebijakan yang Kehilangan Akal Sehat

Sinar Bintang My Id Kota Tasik-Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tetap dipaksakan berjalan saat sekolah libur menunjukkan kegagapan negara dalam membaca realitas sosial. Niat memperbaiki gizi anak memang patut diapresiasi, tetapi kebijakan publik tidak cukup hanya bertumpu pada niat baik. Ia harus tunduk pada asas rasionalitas, efektivitas, dan kepatutan. Sekolah adalah simpul utama distribusi MBG. Ketika sekolah diliburkan, fungsi distribusi itu secara faktual lumpuh. Memaksakan program tetap berjalan bukanlah keberlanjutan kebijakan, melainkan pemaksaan logika birokrasi di atas realitas masyarakat. Kamis 25/12/2025.

Pemerintah berdalih bahwa kebutuhan gizi anak tidak mengenal hari libur. Dalih ini benar secara biologis, tetapi keliru secara administrasi dan kebijakan publik. Dalam prinsip good governance, kebijakan harus adaptif terhadap konteks sosial. Libur sekolah adalah perubahan total pola hidup siswa dan keluarga. Meminta siswa atau orang tua tetap datang ke sekolah untuk mengambil makanan justru menggeser beban negara kepada rakyat, terutama keluarga kecil yang secara ekonomi dan geografis terbatas.

Dalam hukum dikenal adagium salus populi suprema lex esto keselamatan dan kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun pelaksanaan MBG saat libur sekolah justru berpotensi mencederai prinsip tersebut karena menciptakan ketidakadilan akses. Tidak semua siswa bisa datang, tidak semua orang tua memiliki waktu dan biaya, dan tidak semua daerah mampu melakukan distribusi ke rumah. Akibatnya, program yang seharusnya universal berubah menjadi selektif secara diam-diam."Ungkapnya.

Selain itu,"Kebijakan ini juga patut diuji dari perspektif konstitusional. Pasal 28C dan Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak setiap anak atas kesejahteraan dan perlakuan yang adil. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan, termasuk layanan pendukungnya, harus dilaksanakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif. Ketika hanya sebagian siswa yang mampu mengakses MBG saat libur, maka prinsip keadilan itu runtuh dengan sendirinya.

Lebih jauh, jika pelaksanaan MBG saat libur dilakukan demi menjaga kesinambungan anggaran tanpa evaluasi manfaat gizi yang nyata, maka negara sedang mengabaikan asas doelmatigheid (daya guna) dan rechtmatigheid (keabsahan tujuan) dalam hukum administrasi negara. Apalagi jika menu disederhanakan dan kualitas gizi tidak lagi menjadi prioritas utama, tujuan program berubah dari pemenuhan hak anak menjadi sekadar pemenuhan laporan.

Dalam adagium hukum dikenal pula lex neminem cogit ad impossibilia hukum tidak boleh memaksa sesuatu yang mustahil. Namun kebijakan ini justru memaksa kondisi yang secara sosial dan logistik tidak realistis. Jika instrumen utama distribusi tidak berfungsi, memaksakan pelaksanaan hanya akan menghasilkan kebijakan yang sah di atas kertas, tetapi cacat di lapangan."Tegasnya.

Lebih lanjut,"Negara seharusnya berani bersikap rasional: menghentikan sementara MBG bagi siswa saat libur panjang, mengalihkan fokus kepada kelompok yang benar-benar aktif dan rentan seperti balita serta ibu hamil, atau merancang skema berbasis komunitas yang kontekstual. Jika tidak, MBG saat sekolah libur akan tercatat bukan sebagai kebijakan berpihak pada anak, melainkan sebagai kebijakan keras kepala legal secara administratif, tetapi gagal secara etika, keadilan sosial, dan akal sehat publik."Pungkasnya.,Muamar Khadapi, Ketua Cabang SAPMA PP Kota Tasikmalaya.

Red.(Bas).