Hot Posts

6/recent/ticker-posts

MUAMAR KHADAPI soroti Terminal Indihiang sebagai bentuk Kriminalitas Struktural Ketika Negara Takluk pada Kenyamanan Palsu


Sinar Bintang Id Kota Tasik-Sudah hampir dua dekade sejak Terminal Tipe A Indihiang di Kota Tasikmalaya diresmikan pada tahun 2006, namun hingga hari ini terminal tersebut justru menjelma menjadi aset negara yang terbengkalai. Infrastruktur yang menelan dana APBN lebih dari Rp30 miliar itu kini kehilangan fungsinya sebagai simpul transportasi nasional, sekaligus gagal memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sepanjang 18 tahun terakhir, potensi PAD dari sektor transportasi yang seharusnya dikumpulkan dari terminal—meliputi retribusi kendaraan, sewa kios, parkir, dan layanan penumpang—hilang tanpa jejak. Estimasi konservatif menunjukkan kebocoran PAD mencapai Rp13 miliar, dan bila ditambah dengan biaya pemeliharaan serta kerugian sosial-ekonomi, maka total kerugian negara dapat melebihi Rp50 miliar.


Namun kerusakan terbesar bukan hanya soal fiskal, melainkan terletak pada hancurnya otoritas hukum dalam tata kelola transportasi publik. Operator bus besar seperti PO Budiman dan PO Primajasa selama bertahun-tahun dengan terang-terangan melakukan aktivitas naik-turun penumpang di pool mereka masing-masing—praktik yang secara eksplisit melanggar Pasal 20 ayat (2) Permenhub No. 15 Tahun 2019, serta bertentangan dengan Pasal 138 UU No. 22 Tahun 2009 dan Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2014. Pool bus, secara hukum, memang sah sebagai fasilitas penyimpanan dan perawatan armada, namun tidak memiliki kewenangan operasional sebagai terminal. Oleh karena itu, penggunaan pool untuk naik-turun penumpang adalah praktik ilegal, yang tidak tercantum dalam izin trayek manapun.


Ironisnya, saat dikritik, para pelaku justru membenarkan pelanggaran ini dengan narasi “kenyamanan masyarakat”. Dalam audiensi DPRD Kota Tasikmalaya (4 Juli 2025), Direktur PT Primajasa menyatakan bahwa masyarakat merasa lebih nyaman naik di pool ketimbang di terminal. Argumen ini, betapapun populis, merupakan bentuk rasionalisasi atas pelanggaran hukum. Kenyamanan masyarakat bukan variabel hukum, apalagi bila kenyamanan itu dihasilkan dari fasilitas yang secara hukum tidak sah: kursi tunggu, titik keberangkatan, penjualan tiket, dan ruang tunggu yang disediakan di pool. Masyarakat datang ke pool bukan karena terminal tidak dibutuhkan, tapi karena pengusaha sengaja menciptakan kenyamanan ilegal melalui manipulasi fungsi dan pelanggaran aturan.


Lebih dari sekadar ketidaktertiban, ini adalah kriminalitas struktural—pelanggaran administratif yang dilembagakan, diketahui oleh aparat, namun terus dibiarkan karena menyangkut kekuatan ekonomi yang tidak tersentuh. Negara bukan hanya gagal hadir, tapi telah menyerahkan kedaulatannya secara diam-diam kepada oligarki transportasi. Ketika pelanggaran terang-terangan seperti ini tidak ditindak, maka hukum kehilangan fungsi korektifnya dan berubah menjadi simbol kosong. Lebih jauh, situasi ini memperlihatkan bahwa negara tidak lagi mengendalikan ruang transportasi publik, tetapi membiarkan ruang tersebut diprivatisasi secara liar oleh entitas swasta yang berlindung di balik legalitas bangunan.


Oleh karena itu, negara tidak bisa lagi terus bersembunyi di balik alasan koordinasi atau pembinaan. Ini adalah persoalan prinsip: izin trayek yang dilanggar, PAD yang dibobol, dan publik yang dikelabui. Jika aparat pemerintah pusat dan daerah masih memiliki komitmen terhadap hukum, maka satu-satunya jalan adalah tindakan tegas: mulai dari pembekuan izin trayek hingga penyegelan pool yang menyalahgunakan fungsi. Jika tidak, maka publik berhak menyimpulkan: negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya sebagai pengatur, pelindung, dan penjamin keadilan dalam pelayanan publik."Pungkas Muamar Khadapi,"Ketua Cabang SAPMA PP Kota Tasikmalaya


Red.(Bas).